Menyambung Tali Yang Putus
Setiap kali menjelang Idul Fitri, arus mudik sedemikian besar. Banyak
penduduk kota yang kembali ke kampung halamannya, besilaturahim sambil
berlibur, bernostalgia, bahkan mungkin juga sebagaimana disinyalir
beberapa pengamat memamerkan sukses yang telah diraih di kota. Ide
mudik sendiri, selama dikaitkan dengan silaturahim, merupakan ajaran
yang dianjurkan oleh agama. Hal ini dapat dilihat dari akar kata dan
pengertian silaturahim.
Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan
rahim. Kata shilat berakar dari kata yang berarti “menyambung” dan
“menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang terseraklah
yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti
“kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti la “peranakan”
(kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih
sayang.
Tidak jarang hubungana ntara mereka yang berada di kota dan di
kampung sedemikian renggang bahkan terputus akibat berbagai faktor.
Dan dengan mudik yang bermotifkan silaturahim ini akan terjalin lagi
hubungan tersebut; akan tersambung kembali yang selama ini putus serta
terhimpun apa yang terserak. Yang demikian inilah yang dinalamakn
hakikat silaturahim. Nabi SAW bersabda: “Tidak bersilaturahim (namanya)
orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (dinamakan
bersilaturahin adalah) yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat
Bukhari).
Itulah puncak silaturahim, yang dapat diwujudkan oleh mereka yang
mudik dan juga oleh mereka yang tetap tinggal di kota bila ia berusaha
mengingat-ngingat siap yang hatinya pernah terluka oleh ulahnya atau
yang selama ini jarang dikunjungi karena kesibukannya. Mudik dan
kunjungan seperti inilah yang dinamakan dengan menyambung kembali yang
putus, menghangatkan, dan bahkan mencairkan yang beku.
Sungguh baik jika ketika kita mudik, atau berkunjung, kita membawa
sesuatu walaupun kecil karena itulah salah satu bukti yang paling
kongkrit dari rahmat dan kasih sayang. dari sinilah kata shilat
diartikan pula sebagai “pemberian”. Dan tidak ada salahnya seorang yang
mudik menampakkan sukses yang diraih selama ini asalkan tidak mengandung
unsur pamer, berbangga-bangga, dan pemborosan. Lebih-lebih jika yang
demikian itu akan mengantar kepada kecemburuan sosial. Menampakkan
sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat Allah,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:” Allah senang melihat nikmatnya
(ditampakkan) oleh hamba-Nya”.
Adapun nikmat Tuhanmu maka ucapkan (sampaikanlah) (QS 93:11).
Sebagian musafir memahami ayat ini sebagai perintah untuk menyampaikan
kepada orang lain dalam bentuk ucapan atau sikap betapa besar nikmat
Allah yang telah diraihnya. Mudik berlebaran adalah hari gembira yang
berganda; gembira karena lebaran dan gembira karena pertemuan.
Disini
setiap yang mudik hendaknya merenungkan pesan Ilahi:
”Jangan bergembira
melampaui batas terhadap apa yang dianugerahkan (Tuhan) kepadamu,
(kegembiraan yang mengantar kepada keangkuhan dan lupa diri).
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri (QS 57:23).
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari silaturahim yang telah kita lakukan.
Oleh M.Quraish Shihab
0 komentar:
Posting Komentar