Puasa Sunnat Syawwal
Dari Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu: "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang berpuasa Ramadhan dan
melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup".
[Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
Hukum Puasa Syawal
Hukumnya adalah sunnah. "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa
berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama
terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan
alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini,
seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan,
atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar
bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah
perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih.
Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak
mengetahui." [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta',
10/389]
Tidak harus dilaksanakan berurutan.
"Hari-hari ini (berpuasa syawal) tidak harus dilakukan langsung setelah
ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh
menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang
lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya) tidaklah wajib, melainkan
sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Shahabat-shahabat kami
berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka
berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal,
tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir
Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari
hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah
juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]
Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik. "Berkata Musa:
"Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi,
supaya Engkau ridho kepadaku." [QS Thoha: 84]
Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus
berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa
Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa
Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhannya terlebih dahulu." [Fataawa
Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]
Tanya: Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal
padahal punya kewajiban qadla (mengganti puasa yang tertinggal di bulan)
Ramadhan?
Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut: "Barangsiapa
berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana
mengerjakan puasa satu tahun." Jika seseorang punya kewajiban qadla
puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka
puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin).
Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan
puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami
nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari
nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian
ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa
Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal
itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus
diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal
diharuskan terus menerus atau tidak?
Jawaban: Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya):
"Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa
enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun"
[Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya].
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara
berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak,
akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): "....dan
aku bersegera kepada-Mu Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)"
[Thaha : 84]
Juga berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan
kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan
untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah
lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
(yang artinya): "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus
menerus dikerjakan walaupun sedikit".
Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal,
karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau
tanpa udzur.
Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: "Jika seorang wanita berpuasa enam hari di
bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa
enam hari Syawal?"
Jawaban:
Disebutkan dalam riwayat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau
bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan
kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia
berpuasa setahun".
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang
merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal
yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits
lain disebutkan (yang artinya): "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan
dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan".
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan
hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan
sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka
hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari
pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya.
Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk
melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan
yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus
sebagai puasa sunnat Syawal.
Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: Apakah saya berhak untuk melarang istri
saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal? Dan
apakah perbuatan saya itu berdosa?
Jawaban: Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir
di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk
tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa
tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya
itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan
hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk
melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau
menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa
Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.
Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita
yang telah bersuami?
Jawaban: Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir)
kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya): "Tidak halal bagi seorang wanita unruk
berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya". Dalam riwayat
lain disebutkan: "kecuali puasa Ramadhan".
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya
sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan
baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk
berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap
bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan
Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau
setelahnya. (Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang
Wanita, Amin bin Yahya Al-Wazan) by. freewebs
0 komentar:
Posting Komentar