Tuntunan Bertaubat Kepada Allah SWT.
Kewajiban Bertaubat dan Urgensinya
Taubat
dari dosa yang dilakukan oleh seorang mu'min dan saat itu ia sedang berusaha
menuju kepada Allah SWT adalah kewajiban agama. Diperintahkah oleh Al Quran,
didorong oleh sunnah, serta disepakati kewajibannnya oleh seluruh ulama, baik
ulama zhahir maupun ulama bathin.
Hingga
Sahl bin Abdullah berkata: Barangsiapa yang berkata bahwa taubat adalah tidak
wajib maka ia telah kafir, dan barangsiapa yang menyetujui perkataan seperti itu
maka ia juga kafir. Dan ia berkata: "Tidak ada yang lebih wajib bagi
makhluk dari melakukan taubat, dan tidak ada hukuman yang lebih berat atas
manusia selain ketidak tahuannya akan ilmu taubat, dan tidak menguasai ilmu
taubat itu (Di sebutkan oleh Abu Thalib Al Makki dalam kitabnya Qutul Qulub,
juz 1 hal. 179).
Allah
SWT berfirman:
"Dan
barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim". (QS .Al Hujurat: 11)
Ini adalah dalil akan
kewajiban bertaubat. Karena jika ia tidak bertaubat maka ia akan menjadi
orang-orang zhalim. Dan orang-orang yang zhalim tidak akan beruntung.
"Sesungguhnya orang-orang yang zalim
tidak akan beruntung." (QS. Yusuf: 23)
Juga
tidak dicintai Allah SWT:
"Dan
Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim."( QS. Ali 'Imran: 57).
Serta
mereka tidak mendapatkan petunjuk dari Allah SWT:
"Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al
Maidah: 51).
Dan
mereka juga tidak selamat dari api neraka:
"Dan
tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi
Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim
di dalam neraka dalam keadaan berlutut." (QS. Maryam: 71-72.).
Ayat-ayat
yang lain:
Di
antara ayata-yat Al Quran yang mengajak kepada taubat dan menganjurkannya,
serta menjelaskan keutamaannya dan buahnya adalah firman Allah SWT (QS.
Al Baqarah: 222):
"Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri."
Taubat dalam Al Quran
Al
Quran memberi perhatian yang besar terhadap taubat dalam banyak ayat-ayat yang
tersebar dalam surah-surah Makkiah atau Madaniah. Kita akan membaca ayat-ayat
itu nantinya, insya Allah.
"Bertaubatlah
kepada Allah SWT dengan Taubat yang semurni-murninya".
Di
antara perintah yang paling tegas untuk melaksanakan taubat dalam Al Quran
adalah firman Allah SWT:
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman
bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah
kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah
bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu" (QS. At Tahrim: 8).
Ini
adalah perintah yang lain dari Allah SWT dalam Al Quran kepada manusia untuk
melakukan taubat dengan taubat nasuha: yaitu taubat yang bersih dan benar.
Perintah Allah SWT dalam Al Quran itu menunjukkan wajibnya pekerjaan ini,
selama tidak ada petunjuk lain yang mengindikasikan pengertian selain itu.
Sementara dalam ayat itu tidak ada petunjuk yang lain itu. Oleh karena itu,
hendaknya seluruh kaum mu'min berusaha untuk menggapai dua hal atau dua tujuan
yang pokok ini. Yaitu:
- Menghapuskan dosa-dosa
- Masuk ke dalam surga.
Seluruh
individu muslim amat membutuhkan dua hal ini:
Pertama:
agar kesalahannya dihapuskan, dan dosa-dosanya diampunkan. Karena manusia,
disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan
dosa-dosa. Itu bermula dari kenyatan elemen pembentukan manusia tersusun dari
unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit.
Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang
pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk
lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat
atau lebih tinggi lagi. Oleh
karena itu, manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Dengan
kenyataan itu ia membutuhkan taubat yang utuh, sehingga ia dapat menghapus
kesalahan yang diperbuatnya.
Kedua:
agar ia dapat masuk surga. Siapa yang tidak mau masuk surga? Pemikiran yang
paling berat menghantui manusia adalah: akan masuk kemana ia nantinya di
akhirat. Ini adalah masalah ujung perjalanan manusia yang paling penting:
apakah ia akan selamat di akhirat atau binasa? Apakah ia akan menang dan
bahagia ataukah ia akan mengalami kebinasaaan dan penderitaan? Keberhasilan,
kemenangan dan kebahagiaan adalah terdapat dalam surga. Sedangkan kebinasaan,
kekecewaan serta penderitaan terdapat dalam neraka:
"Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh dia telah
beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan" (QS. Ali Imran: 185.).
Konsekuensi dengan Kewajiban bertaubat ini
Allah
sangat menyukai orang yang bertobat:
"Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."
(QS. Al Baqarah: 222).
Dan
dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi
orang-orang yang bertaubat. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu
yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.
Az-Zumar: 53)
Ayat
ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan
melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun.
Seperti sabda Rasulullah Saw:
"Jika
kalian melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai
ke langit, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat
kepada kalian." (Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah,
dan ia menghukumkannya sebagai hadits hasan dalam kitab sahih Jami' Shagir -
5235)
Di
antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para
malaikat muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo'a kepada Allah
SWT agar Allah SWT menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan
mereka ke dalam surga. Dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka
memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan mereka
di langit. Allah SWT berfirman:
"(Malaikat-malaikat) yang memikul
'arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan
mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman
(seraya mengucapkan):
"Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka
berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau
dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami,
dan masukkanlah mereka kedalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada
mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak -bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang
maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan)
kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari(pembalasan?)kejahatan pada
hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah
kemenangan yang besar." (QS.Ghaafir: 7-9).
Siapa yang Wajib Melaksanakan Taubat
Di
antara ayat Al Quran yang berbicara tentang taubat adalah firman Allah:
"Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung" (QS. An-Nur: 31).
Dalam
ayat ini, Allah SWT memerintahkan kepada seluruh kaum mu'minin untuk bertaubat
kepada Allah SWT, dan tidak mengecualikan seorangpun dari mereka.
Meskipun orang itu telah demikian taat menjalankan syari'ah, dan telah menanjak
dalam barisan kaum muttaqin, namun tetap ia memerlukan taubat.
Di antara kaum mu'minin ada yang
bertaubat dari dosa-dosa besar, jika ia telah melakukan dosa besar itu. Karena
ia memang bukan orang yang ma'shum (terjaga dari dosa). Di antara mereka ada yang bertaubat dari
dosa-dosa kecil, dan sedikit sekali orang yang selamat dari dosa-dosa macam
ini.
Dari mereka ada yang bertaubat dari
melakukan yang syubhat. Dan orang yang menjauhi syubhat maka ia telah
menyelamatkan agama dan nama baiknya.
Dan diantara mereka ada yang bertaubat
dari tindakan-tindakan yang dimakruhkan. Dan di antara mereka malah ada orang yang
melakukan taubat dari kelalaian yang terjadi dalam hati mereka. Dan dari mereka ada yang bertaubat karena
mereka berdiam diri pada maqam yang rendah dan tidak berusaha untuk mencapai
maqam yang lebih tinggi lagi.
Taubat
orang awam tidak sama dengan taubat kalangan khawas, juga tidak sama dengan
taubat kalangan khawas yang lebih tinggi lagi. Maka kembali --yaitu dengan
bertaubat-- kepada Allah SWT bagi setiap manusia adalah amat urgen, baik ia
seorang Nabi atau orang yang berperangai seperti babi, juga bagi wali atau si
pencuri. Perkataan itu didukung oleh hadits:
"Seluruh
kalian adalah pembuat salah dan dosa, dan orang yang berdosa yang paling baik
adalah mereka yang sering bertaubat". Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad
dan lainnya dari Anas.
Dari
Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Demi
Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, jika kalian tidak berbuat dosa
niscaya Allah SWT akan membinasakan kalian dan mendatangkan suatu makhluk lain
yang berbuat dosa, sehingga mereka kemudian meminta ampun kepada Allah SWT dan
Allah SWT mengampuni mereka". (Karena di antara nama Allah SWT adalah
"Al Ghaffaar" --Maha Pemberi ampunan. Maka siapa yang akan memberikan
ampunan jika seluruh hamba-Nya adalah orang-orang yang tidak pernah melakukan
dosa?!! Maka orang yang telah melakukan dosa hendaknya tidak menjadi putus asa,
selama dosa yang ia lakukan itu adalah bukan dosa besar. Karena ampunan Allah
SWT lebih besar dari dosanya itu. Dan Allah SWT berfirman: "Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Penyampun lagi Maha
Penyayang". (QS. Az-Zumar: 53).). Hadits diriwayatkan oleh Muslim dan
lainnya.
Contoh
konkritnya:
Jika
suatu saat orang terbebas dari maksiat yang dilakukan oleh tubuhnya, maka ia
tidak dapat terlepas dari keinginan berbuat maksiat dalam hatinya. Dan jikapun
tidak ada keinginan itu, dapat pula ia merasakan was-was yang ditiupkan oleh
syaitan sehingga ia lupa dari dzikir kepada Allah SWT. Dan jika tidak, dapat
pula ia mengalami kelalaian dan kurang dalam mencapai ilmu tentang Allah SWT,
sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya. Semua itu adalah kekurangan dan
masing-masing mempunyai sebabnya. Dan membiarkan sebab-sebab itu dengan
menyibukkan diri dengan pekerjaan yang berlawanan berarti mengembalikan diri ke
tingkatannya yang rendah. (Lihat: Syarh Ainul Ilmi wa Zainul Hilm, juz 1 hal.
175. Kitab ini adalah mukhtasar (ringkasan) kitab Ihya Ulumuddin).
Mengajak Kaum Musyrikin dan Kaum Kafir untuk Bertaubat (yang Bagi kaum Muslimin adalah Wajib)
Di
antara ayat-ayat Al Quran ada yang mengajak kaum musyrikin untuk bertaubat,
serta membukan pintu bagi mereka untuk bergabung dalam masyarakat muslim, serta
menjadi saudara seiman mereka. Seperti firman Allah SWT dalam surah at-Taubah
setelah memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin yang melanggar perjanjian
damai:
"Jika
mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. at-Taubah: 5).
"Jika mereka bertaubat, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama."
(QS. At-Taubah: 11)
Al
Quran juga mengajak orang-orang Kristen untuk bertaubat
dari perkataan mereka tentang ketuhanan al Masih atau ia sebagai satu dari tiga
oknum tuhan! Sedangkan ia sebetulnya hanyalah seorang hamba Allah. Dan baginya
telah terjadi apa yang terjadi bagi manusia biasa. Serta Al Quran mengajak
untuk menyembah Allah SWT saja.
Allah
SWT berfirman:
"Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah al
Masih putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "
bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti
dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka
akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada
Allah dan memohon ampun kepadaNya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Al Maidah: 72-74 ).
Bahkan
Allah SWT Yang Maha Pemurah juga membuka pintu taubat bagi orang-orang kafir
yang telah demikian keji menyiksa kaum mu'mimin dan mu' minat, serta
telah melemparkan kaum mu'minin itu ke dalam api yang panas:
"Yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa
yang mereka perbuat terhadap orang-orang beriman." (QS. al Buruj: 5-7.)
Allah
SWT berfirman setelah menyebutkan kisah mereka itu, bahwa mereka membenci kaum
mu'minin itu semata karena kaum mu'minin beriman kepada Allah SWT semata (ayat
8).
Allah
SWT befirman:
"Sesungguhnya
orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu'min laki-laki
dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab jahannam
dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar." (QS. al Buruuj: 10).
Hasan
al Bashri mengomentari ayat ini: "lihatlah kedermawanan dan kemurahan
Allah SWT ini: mereka membunuh para wali-Nya, dan Dia kemudian mengajak mereka
itu untuk bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya!."
Hingga
kemurtadan --yaitu orang yang kafir setelah iman- taubat mereka masih dapat
diterima.
Allah SWT berfirman:
"Bagaimana Allah akan menunjuki
suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa
Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah
datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu
balasannya ialah: Bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian
pula) la'nat para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya,
tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh,
kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan.
Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali
Imran: 86-89.)
Taubat Nabi-nabi dalam Al Quran
Al
Quran telah menyebutkan kepada kita taubat Nabi-nabi dan orang-orang yang saleh
atas perbuatan salah mereka. Mereka segera menyesal, bertaubat dan beristighfar
dari kesalahan itu. Dengan berharap agar Allah SWT mengampuni dan meneriman
taubat mereka.
1.
Taubat Nabi ADAM a.s.:
Pemimpin orang-orang yang taubat adalah nenek moyang manusia, Adam a.s. Yang
telah Allah SWT jadikan dia dengan tangan-Nya dan meniupkan ke dalam dirinya
secercah dari ruh-Nya, memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, mengajarkan
kepadanya seluruh nama-nama, serta menampilkan keutamaannya atas malaikat
dengan ilmu pengetahuannya. Namun Adam yang selamat dalam ujian ilmu
pengetahuan, tidak selamat dalam "term pertama" ujian iradah
(mengekang hawa nafsu). Allah SWT mengujinya dengan beban pertama yang
ditanggungkan kepadanya. Yaitu melarang untuk memakan suatu pohon. Hanya satu
pohon yang dilarang untuk dimakannya, sementara memberikan kebebasan baginya
untuk memakan seluruh pohon surga sesuka hatinya, bersama isterinya. Di sini tampak
ia tidak dapat menahan keinginan pribadinya, serta melupakan larangan Rabbnya
dengan dipengaruhi bujuk rayu syaitan dan tipu dayanya, sehingga dia pun
memakannya dan dia pun terjatuh dalam kemaksiatan. Namun secepatnya dia mencuci
dan membersihkan dirinya dari bekas-bekas dosa itu, dengan taubat dan
istighfar.
"Dan
durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka
Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (QS. Thaaha: 121-122)
2.
Taubat Nabi MUSA a.s.:
Al Quran menceritakan kepada kita tentang taubat Musa yang dipilih Allah untuk
membawa risalah-Nya dan menerima kalam-Nya. Namun ia telah melakukan dosa
sebelum mendapatkan risalah. Yaitu karena menuruti permintaan seseorang dari
kaumnya yang sedang bertengkar dengan kaum Fir'aun untuk membantunya, maka
kemudian Musa memukulnya dan orang itupun tewas seketika.
"Musa
berkata: Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan adalah musuh yang
menyesatkan, lagi nyata (permusuhannya). Musa mendo'a: Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah
mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. al Qashash: 15-16)
3.
Taubat Nabi YUNUS a.s:
Al Quran juga menceritakan tentang taubat Nabi Yunus a.s. Ketika beliau
berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah SWT namun mereka tidak menuruti
dakwahnya itu. Maka Nabi Yunus tidak merasa sabar menghadapi itu, dan marah
terhadap kaumnya, kemudian beliaupun pergi meninggalkan mereka. Kemudian Allah SWT
ingin menguji beliau dengan cobaan yang dapat membersihkannya, dan menampakkan
sifat aslinya yang bagus. Serta sejauh mana keyakinanya terhadap Rabbnya dan
kejujurannya dengan Rabbnya. Beliau kemudian menaiki sebuah kapal laut, di
tengah laut kapal itu dihantam angin besar, dan dipermainkan oleh ombak, dan
mereka merasa bahwa mereka sedang berada dalam bahaya yang besar. Para anak
buah kapal berkata; kita harus mengurangi beban kapal sehingga kapal ini tidak
tenggelam. Dan akhirnya mereka harus memilih untuk menceburkan sebagian orang
yang berada di atas kapal itu agar para penumpang yang lain selamat dari
ancaman tenggelam itu. Hal itu dilakukan dengan sistem undian. Kemudian undian
itu jatuh kepada Yunus, dan beliaupun harus mengikuti nasibnya itu. Maka beliaupun
dilemparkan ke laut, dan kemudian ditelan oleh seekor ikan paus, sambil
mendapatkan kecaman karena ia marah terhadap kaumnya serta meninggalkan mereka,
karena putus harapan atas mereka. Tanpa berupaya untuk terus mengulangi
usahanya itu. Di dalam perut ikan paus itu, keyakinan Yunus kembali menguat,
dan beliau berdo'a dalam kegelapan yang menyelimutinya itu: kegelapan laut,
kegelapan malam, dan kegelapan perut ikan paus, dengan kalimat-kalimat yang
direkam oleh Al Quran ketika bercerita dengan ringkas tentang Yunus ini:
"Dan
(ingatlah) kisah Dzun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya atau menyulitkannya, maka ia
menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak di
sembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan
menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang
yang beriman." (QS. al Anbiyaa: 87-88)
Tiga
kalimat pendek yang dipergunakan oleh Yunus a.s. (La Ilaha Illa Anta Subhaanaka
Inni kuntu minazh zhaalimiin), namun ketiganya mempunyai pengertian yang
besar:
Kedua:
menunjukkan pembersihan Allah SWT dari seluruh kekurangan. Ini adalah makna
tasbih yang dilakukan langit dan bumi dan seluruh makhluk. Karena segala
sesuatu bertasbih dengan memuji-Nya. "Subhaanaka" "Maha Suci
Engkau".
Ketiga:
Menunjukkan pengakuan atas dosa yang dilakukan. Tidak menjalankan hak Rabbnya
dengan sempurna serta menzhalimi diri sendiri karena sikapnya itu. "Inni
kuntu minazh zhaalimiin" "sesungguhnya aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim " ini adalah tanda sebuah taubat.
Tidak
heran jika kata-kata yang pendek namun jujur dan ikhlas itu segera mendapatkan
jawabannya di dunia ini, sebelum di akhirat:
"Maka
Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan
demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al Anbiya: 88)
Dan
kata-kata yang mengandung tiga hal ini: peng-esaan, pembersihan
dan pengakuan, menjadi contoh bagi pujian dan do'a ketika terjadi
kesulitan. Hingga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan ia
mensahihkannya diriwayatkan:
"Do'a
saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus) yang jika dibaca oleh orang yang sedang
tertimpa bencana niscaya Allah SWT akan menghilangkan bencana dan kesulitannya
itu: "Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku
adalah termasuk orang yang melakukan kezaliman".
4.
Taubat Nabi DAUD a.s.:
Al Quran juga menuturkan kepada kita tentang cerita taubat nabi Daud a.s.
seperti diceritakan dalam surah Shaad. Yaitu ketika dua orang yang sedang
berselisih datang kepada beliau, dan memasuki mihrab beliau, sehingga beliau
terkejut melihat kedua orang itu. Keduanya kemudian berkata:
"Janganlah
kamu merasa takut (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang
dari kami berbuat zalim kepada yang lain ; maka berilah keputusan antara kami
dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukkilah kami
ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini, mempunyai sembilan puluh
sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata:
Serahkanlah kambingmu itu kepadaku, dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan.
Daud berkata: Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui bahwa Kami
mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia
mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik."
(QS. Shaad: 22-25)
Kita
lihat, apa kesalahan Nabi Daud dalam kisah ini, yang dia sangka sebagai fitnah,
dan cobaan bagi beliau, kemudian beliau beristighfar kepada Rabbnya, serta
tunduk sujud dan memohon ampunan.
Yang
tampak dalam kisah itu adalah: Nabi Daud a.s. bertindak dengan tergesa-gesa
serta tidak meneliti dahulu secara mendalam, sehingga beliau terpengaruhi oleh
dorongan emosi ketika mendengar perkataan salah seorang yang sedang berselisih
itu. Dan secara tergesa-gesa memutuskan hukum dengan merugikan pihak lain,
tanpa terlebih dahulu mendengar alasan-alasannya, dan memberikan kesempatan
kepadanya untuk membela dirinya sendiri. Oleh karena itu, datang perintah Tuhan
agar Daud tidak cepat terpengaruh oleh emosinya dalam menetapkan suatu hukum.
Dalam firman Allah SWT:
"Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia denga adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah."
(QS. Shaad: 26)
Taubat dalam Sunnah Nabi Saw.
Dalam
sunnah Nabi Saw, kita banyak menemukan hadits-hadits yang mengajak kita untuk
bertaubat, menjelaskan keutamaannya, dan mendorong untuk melakukannya dengan
berbagai cara. Hingga Rasulullah Saw bersabda:
"Wahai
sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah SWT, karena sesungguhnya aku
bertaubat kepada Allah SWT dalam satu hari sebanyak seratus kali". (Hadits
diriwayatkan oleh Muslim dari Al Aghar al Muzni.)
Dari
Abi Musa r.a. diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT membuka "tangan"-Nya pada malam hari untuk memberikan
ampunan kepada orang yang melakukan dosa pada siang hari, dan membuka
"tangan"-Nya pada siang hari, untuk memberikan ampunan kepada orang
yang melakukan dosa pada malam hari, (terus berlangsung demikian) hingga
(datang masanya) matahari terbit dari Barat (kiamat)". Hadits diriwayatkan
oleh an-Nasaai.
Dari
Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Jika
kalian melakukan dosa hingga dosa kalian sampai ke matahari, kemudian kalian
bertaubat, niscaya Allah SWT akan mengampuni kalian". Hadits diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik. (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dalam kitab Az Zuhd (4248), dan dalam kitab az Zawaid diterangkan: ini adalah
isnad hasan.).
Dari
Jabir r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
"Di
antara kebahagiaan manusia adalah, panjang usianya, dan Allah SWT memberikan
rezeki taubat kepadanya". Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim. Dan ia
berkata: isnad hadits ini sahih. (Penilaian Al Hakim ini disetujui oleh Adz
Dzahabi (4/240) dan Al Haitsami menyebutkan sebagian hadits ini dan berkata:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Bazzar, dan sanadnya adalah hasan
(10/203).).
Dari
Abi Hurairah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
"Seorang
hamba melakukan dosa, dan berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka
ampunilah aku'. Tuhannya berfirman: 'hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai
Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Tuhan-pun
mengampuninya'. Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga
masa yang ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang
lain. Orang itupun kembali berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku kembali melakukan
dosa, maka ampunilah dosaku'. Tuhan-nya berfirman: 'Hamba-Ku mengetahui bahwa
dia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya', maka Tuhan-pun
mengampuninya. Kemudian ia terus dalam keadaan demikian hingga masa yang
ditentukan Allah SWT, hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia
berdo'a: 'Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa, maka ampunilah daku'. Tuhan-nya
berfirman: 'Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan
menghapus dosanya'. Maka Tuhannya berfirman: 'Aku telah berikan ampunan kepada
hamba-Ku, dan silahkan ia melakukan apa yang ia mau". Hadits diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim.
Redaksi:
'falya'mal ma syaa' "silakan ia melakukan apa yang ia mau" maknanya
adalah --wallahu a'lam--: selama dia melakukan dosa dan beristighfar kemudian
diampuni, dan ia tidak melakukan dosa itu lagi. Dengan dalil redaksi:
"kemudian ia melakukan dosa lagi" maka ia dapat melakukannya lagi
jika itu merupakan perangainya, sesuai kemauannya. Karena ia, setiap kali ia
melakukan suatu dosa maka taubat dan istihgfarnya menjadi penghapus dosanya
itu, dan ia tidak mendapatkan celaka. Tidak karena ia melakukan suatu dosa,
kemudian ia beristighfar dari dosanya itu dengan tanpa berusaha membebaskan
dirinya dari kebiasan buruknya itu, karena itu adalah taubat orang yang suka
bohong.
Telah
disebutkan sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
seorang hamba, jika ia melakukan dosa maka terdapat bintik hitam dalam hatinya,
dan jika ia bertaubat dan meninggalkan perbuatan dosa itu serta beristighfar,
maka hatinya kembali dibersihkan".
Dari
Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di
tenggorokan (sakratul maut)". Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan
Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.
Dari
Abdullah bin Mas'ud r.a. dari Nabi Saw bersabda:
"Orang
yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa". Hadits
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Thabrani dan keduanya dari riwayat Abi
Ubaidah bin Abdullah bin Mas'ud dari bapaknya. Dan ia tidak mendengar darinya.
Dan para perawi Thabrani adalah sahih.
Dari
Abi Sa'id al Khudri r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:
"Pada
jaman sebelum kalian ada seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan
manusia, kemudian ia mencari manusia yang paling alim di muka bumi, dan ia pun
ditunjukkan kepada seorang rahib. Ia mendatangi rahib itu dan bertanya: bahwa
ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, maka apakah ia masih dapat
bertaubat?. Sang rahib menjawab: "tidak". Dan orang itupun membunuh
sang rahib, hingga ia melengkapi bilangan seratus orang yang telah ia bunuh.
Kemudian ia kembali menanyakan tentang orang yang paling alim di muka bumi, dan
ia pun ditunjukkan kepada seorang alim, dan ia bertanya: bahwa ia telah
membunuh seratus manusia, maka apakah ia dapat bertaubat? Orang alim itu
menjawab: "ya bisa, siapa yang menghalangi antaranya dengan taubat?
Pergilah engkau ke daerah ini dan ini, karena di sana ada manusia yang
menyembah Allah, maka beribadahlah bersama mereka, dan jangan kembali ke
negerimu lagi; karena ia adalah negeri yang buruk". Orang itu kemudian
berangkat menuju negeri yang ditunjukan itu hingga sampai di tengah perjalanan,
di sana malaikat maut mendatanginya dan mencabut nyawanya. Kemudian malaikat
rahmat dan malaikat azab bertengkar; malaikat rahmah berkata: Orang ini telah
berangkat untuk bertaubat kepada Allah SWT (oleh karena itu ia berhak
mendapatkan rahmah). Sedangkan malikat azab berkata: orang ini tidak pernah
melakukan kebaikan sedikitpun (oleh karena itu ia seharusnya diazab.
Selanjutnya, datang malaikat dalam bentuk seorang manusia, dan berkata kepada
keduanya: Ukurlah antara dua negeri itu (antara tempat asalnya dan tempat
tujuannya), tempat mana yang lebih dekat orang itu, maka orang itu dimasukkan
dalam kelompok itu. Malaikat pun mengukurnya dan mendapati orang itu lebih
dekat ke tempat yang ditujunya (tempat orang saleh), maka orag itupun dicabut
oleh malaikat rahmah".
dalam
riwayat lain:
"Allah
SWT memerintahkan kepada negeri yang buruk itu untuk menjauh dan kepada negeri
yang saleh untuk mendekat. Kemudian memerintahkan kepada malaikat: Ukurlah
antara keduanya, dan para malaikut mendapati orang itu lebih dekat ke negeri
yang saleh sekadar satu hasta, maka Allah SWT mengampuni orang itu".
Dari
Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Allah
SWT berfirman: " Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku
akan bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku, dan Allah SWT lebih senang
dengan taubat seorang manusia dari pada seorang kalian yang menemukan kembali
perbekalannya di padang tandus. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku satu hasta
maka Aku akan mendekat kepadanya satu lengan, dan barang siapa mendekat
kepada-Ku satu lengan maka Aku akan mendekat kepadanya dua lengan, dan jika ia
menghadap kepada-Ku dengan berjalan maka Aku akan menemuinya dengan
berlari". Hadits diriwayatkan oleh Muslim, dan lafazhnya darinya, juga
Bukhari dengan lafazh yang sama.
Unsur-unsur Taubat
Terma
dari akar kata "t-w-b" dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian: pulang
dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan kembali
ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya.
Allah
SWT telah menciptakan manusia dari dua unsur. Di dalam tubuhnya terdapat unsur tanah,
juga unsur ruh. Inilah yang menjadikannya layak dijadikan objek sujud
oleh malaikat sebagai penghormatan dan pemuliaan kedudukannya. Allah SWT
berfirman:
"(Ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Ku sempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur
dengan bersujud kepadanya." QS. Shaad: 71-72..
Allah
SWT tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam kecuali setelah
Allah SWT memperbagus bentuknya dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.
Ketika
manusia ta'at kepada Rabbnya berarti tiupan ruh itu mengalahkan sisi tanahnya.
Atau dengan kata lain, sisi ruhani mengalahkan sisi materi. Dan sisi Rabbani
mengalahkan sisi tanah yang rendah. Maka manusia meningkat dan mendekat kepada
Rabbnya, sesuai dengan usahanya untuk meningkatkan sisi ruhaninya ini.
Ketika
manusia berbuat maksiat terhadap Rabbnya, maka posisi itu terbalik; sisi tanah
mengalahkan sisi ruh, dan sisi materi yang rendah mengalahkan sisi Rabbani yang
tinggi. Maka manusia merendah dan menjadi lebih hina, serta menjauh dari Allah
SWT sesuai dengan seberapa jauh dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan.
Kemudian
taubat memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai apa yang tidak ia
dapatkan, serta meluruskan kembali perjalanan hidupnya. Maka manusia itupun
kembali menaik setelah kejatuhannya, dan mendekat kepada Rabbnya setelah ia
menjauhi-Nya, serta kembali kepada-Nya setelah memberontak dari-Nya.
Taubat Nasuha
Taubat
yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah taubat nasuha
(yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya." QS. at-Tahrim: 8
Kemudian
apa makna taubat nasuha itu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab
tafsirnya: "artinya adalah, taubat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan
menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian
jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus keburukan-keburukan yang
dilakukannya."
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim
menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian
taubat nasuha: adalah seseorang yang bertaubat dari dosanya dan ia tidak
melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.
Hasan Al Bashri berkata: taubat adalah
jika seorang hamba menyesal akan perbuatannya pada masa lalu, serta berjanji
untuk tidak mengulanginya.
Al Kulabi berkata: Yaitu agar meminta
ampunan dengan lidah, menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk
tidak melakukannnya lagi.
Sa'id bin Musayyab berkata: taubat nasuha
adalah: agar engkau menasihati diri kalian sendiri.
Muhammad bin Ka'b al Qurazhi berkata:
taubat itu diungkapkan oleh empat hal: beristighfar dengan lidah, melepaskannya
dari tubuh, berjanji dalam hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta
meninggalkan rekan-rekan yang buruk.
Penjelasan Tentang Unsur-unsur yang Menciptakan Hakikat Taubat
Dari
penuturan Al Gazhali dan ulama lainnya dapat ditarik pengertian: bahwa
hakikat taubat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mu'minin agar
mereka beruntung, serta memerintahkan agar mereka bertaubat dengan taubat
nasuha, terdiri dari beberapa unsur dan faktor yang tiga itu: tersusun
secara berurutan satu sama lain.
1. Unsur pengetahuan dalam taubat
Unsur
pertama adalah unsur pengetahuan. Yang tampak dalam pengetahuan manusia
akan kesalahannya dan dosanya ketika ia melakukan kemaksiatan kepada Rabbnya,
serta matanya terbuka sehingga ia dapat melihat kesalahannya itu, melepaskan
sumbatan dari telinganya sehingga ia dapat mendengar, dan mengusir kegelapan
dari akalnya sehingga ia dapat berpikir, dalam setiap kesempatan kembalinya
diri kepada fithrahnya. Saat itu ia akan mengetahui keagungan Rabbnya,
kemuliaan maqam-Nya dan kebesaran hak-Nya. Juga mengetahui kekurangan dirinya,
mengapa ia mengikuti syaitan, serta kerugiannya yang jelas di dunia dan akhirat
jika ia terus berjalan mengikuti perilaku Iblis dan tentaranya.
Kesadaran
jiwa adalah pangkal pertama bagi bangunan taubat. Dialah yang akan mendorong
hati untuk menyesal, kemudian bertekad untuk meninggalkan dosa itu, lidahnya
beristihgfar, kemudian tubuhnya mencegah dari melakukan dosa itu.
Inilah
yang diperingatkan oleh Al Quran dalam firman Allah SWT:
"Dan
orang -orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang
hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya"
(QS. al Hajj: 54.)
Allah
SWT berfirman tentang sifat kaum muttaqin:
"Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui".
(QS. Ali Imran: 135)
Al Qusyairi berkata dalam kitabnya
"Risalah Qusyairiah": taubat yang pertama adalah: bangunnya hati dari
kelalaian, serta sang hamba melihat kondisi yang buruk akibat dosa yang ia
perbuat. Dan itu akan mendorongnya untuk mengikuti dorongan hati nuraninya agar
tidak melanggar perintah Allah SWT. Karena dalam khabar disebutkan:
"penasehat dari Allah SWT terdapat dalam hati setiap orang muslim".
(Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nuwas bin Sam'an). Dan dalam khabar: "Sesungguhnya
di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh
tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah itulah
hati". (Hadits muttafaq alaih dari Nu'man bin Basyir).
Jika
hatinya merenungkan keburukan perbuatannya, serta ia menyadari dosa-dosa yang
ia perbuat itu, niscaya dalam hatinya akan terdetik keinginan untuk bertaubat,
dan menjauhkan diri dari melakukan tindakan-tindakan yang buruk itu. Kemudian
Allah SWT akan membantunya dengan menguatkan tekadnya itu, melakukan tindakan
koreksional atas dosa-dosanya, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang
seharusnya dalam bertaubat. (Risalah Qusyairiah dengan tahqiq Dr. Abdul Halim
Mahmud, dan Dr. Mahmud bin Syarif, (juz 1/ 254, 255).
2. Unsur Hati dan Keinginan
Unsur
kedua dalam taubat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan
keinginan diri. Atau dengan kata lain: emosi dan inklinasi. Dari unsur ini ada
yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa
depan.
a. Menyesal dengan sangat
Yang
berkaitan dengan masa lalu adalah apa yang kita kenal dengan penyesalan.
Tentang ini terdapat hadits: "penyesalan adalah taubat". Karena ia
adalah bagian yang paling penting dari taubat. Al Qusyairi mengutip dari
beberapa ulama: penyesalan itu cukup untuk mewujudkan taubat. Karena penyesalan
itu akan menghantarkan kepada dua rukun lainnya, yaitu tekad dan meninggalkan
perbuatan dosa. Adalah mustahil jika ada seseorang yang menyesali tindakan yang
masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan kembali.
Penyesalan
adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam
diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap
makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri. Ini adalah penyesalan yang mirip
dengan api yang membakar hati dengan sangat. Malah ia akan merasakannya seperti
dipanggang ketika ia mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya
atasnya. Itu adalah kondisi "terbakar di dalam" yang
diungkapkan oleh sebagian kaum sufi ketika mereka mendefinisikan taubat: melelehkan
lemak (yang terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia
adalah api hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.
Contoh
penyesalan dalam Al-quran dan Hadist:
Al
Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang melakukan
taubat, dengan deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang
absen dari mengikuti perang yang besar bersama Rasulullah Saw, yaitu perang
Tabuk. Yang merupakan peperangan pertama Rasulullah Saw dengan negara yang
paling kuat di dunia saat itu: negara Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan
bohong seperti kaum munafik, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk
mengucilkan mereka. Kemudian mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan
sangat, dan dilukiskan oleh Al Quran sebagai berikut:
"Dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.
Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang".
(QS. at-Taubah: 118)
Di
antara bentuk penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari
pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta ampunan dan maghfirah dari Allah
SWT.
Seperti
kita temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang
dilarang itu:
"Keduanya
berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. al A'raf: 23)
b. Tekad yang kuat
Jika
penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat;
ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, yaitu dengan bertekad
untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak
akan kembali melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin
kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan
tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi
oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat
sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!
Taubat
itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia
terlena oleh dirinya, tertipu oleh syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali
melakukan kemaksiatan. Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan
taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut
taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka
sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS. al
Isra: 25].
Imam
Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan
memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada
masa lalu. Seperti terdapat dalam hadits sahjih "Islam menghapuskan apa
yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Ibnu
Katsir berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap
bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits dan
atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya",
ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang
telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia
tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan,
dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang
sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al Halabi.]?.
Ibnu
Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan
menyebut dua pendapat:
1.
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu
tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali
melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
2.
Sedangkan menurut pendapat kalangan
mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan
oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad
dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi
padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat
itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga
taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia
berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang
hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia
kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga
ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih
melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi
menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam
masalah ini ada dua pendapat:
Satu
kelompok berpendapat: ia kembali
menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya dahulu itu, karena taubatnya
telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena
taubat dari dosa adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang
kafir ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh
dosa kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian jika ia murtad,
dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti
terdapat dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal baik
dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan) maka ia tidak akan
dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa
yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan
dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah
Islam)".
Ini
adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah
diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap
keislaman seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan
dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan
itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama itu. Demikian juga dosa orang
yang taubatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum taubat yang ia
langgar itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan
kemudian. Mereka
berkata: karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan terus
dijalani, maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika
syarat itu lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan kontinuitasnya dan
terus dijalaninya. taubat adalah wajib secara ketat sepanjang usia seseorang.
Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus
terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu
adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika sepanjang hari ia menahan
diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan perbuatan yang
membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh puasanya yang telah ia
jalani dari pagi hari itu otomatis batal, dan tidak dinilai sebagai puasa. Dan
ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.
Mereka
berkata: ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya
seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya
dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang
hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke
neraka itu".
Ini
lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada
neraka selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena
Rasulullah Saw tidak mensabdakan: "maka ia murtad dan iapun meninggalkan
Islam". Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang
menghantarkannya ke neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: "Ada
seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh
tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam
berwasiat maka iapun masuk neraka".
Penutup
yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan
seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan
kelompok kedua yaitu mereka yang
berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia mintakan taubatnya tidak kembali
ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya itu-- berdalil bahwa dosa itu
telah terhapus dengan taubat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya
sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ
setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa
yang lama.
Mereka
berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah
berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa
serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya
dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari
baru catatan dosanya itu.
Mereka
berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal
kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia
menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan
amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Mereka
berkata: taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat
itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga
terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum
khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. (Dan kaum
Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia
telah melakukan banyak amal yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan
orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij
mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu
adalah batil dalam Islam.) Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS. an-Nisa: 40].
Mereka
berkata: Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan
dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang
sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama
satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam shalat. Karena ia adalah suatu
ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak
terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah
ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara
taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan
yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia
tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Oleh
karenanya:
Apakah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa, atau yang menunaikan zakat
namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia mampu), pahala ibadah
yang ia lakukan terhapus?
Pokok
masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan,
sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu tidak
menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan
bersamaan dengannya.
Mereka
berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka
sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat
yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga
sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih
mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih
dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu.
Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada
kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran: 167].
Dengan
dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka,
namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk
surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika
demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah
orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai
karena ia telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah
SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh
hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.
"Dan
sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS. Fushilat:
46].
3. Sisi Praktis dalam Taubat
Dalam
taubat juga terdapat sisi atau unsur praksis yang harus dijalankan, hingga
hakikat taubat dapat dipenuhi, serta ia dapat memberikan hasilnya bagi jiwa
dalam kehidupan.
a. Meninggalkan Kemaksiatan Secepatnya
Suatu
taubat tidak bermakna jika orang yang bertaubat itu masih tetap menjalankan
kemaksiatan yang ia sesali itu, serta tiddak meinggalknanya; karena, kalau
begitu, apa yang ia taubatkan, jadinya? Meninggalkan taubat itu dinilai sebagai
pekerjaan, karena ia menahana diri dari kemaksiatan yang ia ingin lakukan,
untuk tetap dalam ketaatan. Tidak diragukan lagi, menahan diri ini adalah
pekerjaan, gerak tubuh, serta jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:
"Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan ) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al 'Ankabut: 69).
b. Istighfar
Dengan
pengertian, memintah maghfirah dan ampunan dari Allah SWT. Seperti dikatakan
oleh bapak yang pertama, Adam, dan ibu yang pertama, Hawa; setelah keduanya
makan pohon yang dilarang itu:
"Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi." (QS. al A'raaf: 23)
Syarat-syarat Istighfar dan Etika-etikanya
1.
NIAT: niat
yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak
menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas
semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus" [QS. Al Bayyinah: 5].
Dan sabda Rasulullah Saw :
"Seluruh amal perbuatan manusia
ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang beramal mendapatkan balasan atas
amalnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya". Hadits muttafaq alaih.
2.
Agar
hati dan lidah secara serempak melakukan istighfar. Sehingga tidak boleh
lidahnya berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin
terus melakukan maksiat.
Rabi'ah berkata: istighfar kita butuh kepada
istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai
dengan hati.
3.
Di
antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada dalam keadaan
suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling sempurna, zhahir dan bathin.
Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
(dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar itu adalah benar adanya) meriwayatkan
kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabsda:
"Tidak ada seseorang yang berbuat dosa,
kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia
beristighfar kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT pasti mengampuninya" [Al
Hafizh berkata: hadits ini diriwaytkan oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu
Hibban mensahihkannya. Fathul Bari: 11/ 98. Sedangkan dalam Jami' Shagir
dinisbahkan kepada Abi Daud dan Tirmizi. Sementara Al Albani menyebutkannya
dalam Dha'if al Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat :
"Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
4.
Agar ia
ber istighfar kepada Allah SWT, dan ia berada dalam kondisi takut dan
mengharap. Karena Allah SWT menyifati diri-Nya dengan firman-Nya: "Yang Mengampuni dosa dan Menerima
taubat lagi keras hukuman-Nya" [QS. Ghafir: 3].
5.
Di
antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat
menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :
" Dan yang memohon ampun di waktu
sahur" [QS. Ali Imran: 17].
"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon
ampun (kepada Allah)" [QS. adz-Dzariaat: 18].
6.
Istighfar
dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah salam.
Rasulullah Saw telah mengajarkan Abu Bakar
untuk mengucapkan sebelum salam: "Wahai Allah, sesungguhnya aku telah
berbuat zalim kepada diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang
dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau, maka ampunilah daku dengan ampunan
dari-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi ampunan dan
Maha Penyayang ".
7.
Di
antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan bagi kaum
mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga Allah SWT
menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan dengan masuk dalam
kelompok mereka.
Di antara do'a Nuh itu adalah:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu
bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang
beriman laki-laki dan perempuan" [QS. Nuuh: 28].
Dan dari do'a Ibrahim adalah:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan
kedua ibu bapakku dan sekalian orang -orang mu'min pada hari terjadinya hisab
(hari kiamat)" [ QS. Ibrahim: 41].
8.
Agar ia
berdo'a dan ber istighfar dengan redaksi yang disebutkan dalam al Quran dan
sunnah. Dan dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu
mendapatkan dua balasan: Balasan doa dan istighfar dan Balasan mengikuti al
Quran dan sunnah.
Di antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan
oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di antaranya
adalah:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat
kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" [QS.
al A'raaf: 23].
[QS. al Mumtahanah: 4-5], [QS. Ali Imran:
147], [QS. Al Hasyr: 10], [QS. Ali
Imran: 193].
Dan dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam.
Di antaranya adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di
antaranya adalah:
"Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahanku,
kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku".
"Ya Allah, jauhkanlah daku dari
kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah,
sucikanlah aku dari kesalahanku dengan air, salju dan embun. Ya Allah,
bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan seperti baju yang putih dibersihkan
dari kotoran". Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Hurairah dan
diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah Rasulullah Saw
berdo'a dengan do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat, serta sebelum
membaca surah Al Fatihah.
c. Mengubah Lingkungan dan Teman
Merubah
lingkungan masyarakat yang penuh dengan kotoran, yang ia tempati saat ia
melakukan kemaksiatan dan penyelewengan. Kemudian mencari lingkungan yang
bersih dan suci yang bebas dari penyakit yang berbahaya. Yang kami maksud
dengan penyakit-penyakit itui adalah: penyakit kesalahan, dosa dan
penyelewengan. Dan ini lebih berbahaya dari penyakit badan, dan lebih cepat
pengaruhnya.
Ini
artinya, orang yang bertaubat hendaknya meninggalkan teman-temannya yang jahat
yang mengajaknya untuk melakukan kemaksiatan dan menarik kakinya ke arah itu.
Yang membuat ia terjatuh seperti mereka. Sehingga ia kemudian turut meminum
minuman keras, berjudi, menggunakan obat bius, memperjual belikan barang yang
haram, menerima sogokan, jatuh dalam tipu daya wanita, bekerja dengan musuh
sebagai mata-mata, atau meninggalkan shalat serta mengikuti syahwat... dan
macam-macam kesalahan lainnya. Oleh karena itu, ia harus mengganti
teman-teman yang jahat itu dengan teman-teman yang baik. Yang dengan
melihat mereka saja ia akan mengingat Allah SWT, pembicaraan mereka mengajak
kepada ketaatan kepada Allah SWT , dan perbuatan mereka menunjukkan kepada
jalan Allah SWT.
Pengaruh
teman dan sahabat bagi manusia amat besar, seperti diungkapkan oleh para bijak
bestari dan para penyair dari semenjak dahulu kala. Hingga ada penyair yang
berkata:
"Tentang
seseorang maka janganlah tanyakan dirinya sendiri, namun tanyakan temannya
Karena setiap teman dengan temannya adalah sama. "
Teman
ada dua macam: teman yang membawa engkau menuju surga, dan teman yang
menjerumuskan engkau ke dalam neraka. Al Quran telah menceritakan kepada
kita akan bahaya teman jenis terakhir ini. Karena ia dapat menyesatkan dan
menghalangi dari jalan Allah. Dan mungkin korban-korban mereka baru diketahui
di akhirat nanti, ketika tabir kegaiban telah dibuka, dan manusia melihat
hakikat sejara jelas. Allah berfirman:
"Dan
(ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya,
seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si
fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al
Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak
mau menolong manusia." (QS. al Furqan: 27-29).
Oleh
karena itu, kita melihat seluruh teman di dunia menjadi musuh di akhirat.
Masing-masing mencela yang lain, dan satu orang melaknat temannya yang lain,
serta mereka saling membebaskan diri dari masing-masing. Seluruh mereka berkata
kepada sahabatnya: engkaulah yang telah menyesatkan dan membuatku sesat. Kecuali
ada satu jenis teman dan kekasih yang tetap saling mencintai, yaitu orang-orang
yang taqwa, yang takut kepada Rabb mereka, dan azab yang buruk. Allah SWT
berfirman:
"Teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang
bertakwa." (QS. az-Zukhruf: 67)
Ini
diperkuat oleh hadits sahih: yaitu hadits yang
berbicara tentang orang yang telah membunuh seratus orang, kemudian ia bertanya
siapa orang yang paling pandai di dunia. Kemudian ia diberitahukan untuk
menemui seorang alim ia berkata kepadanya: bahwa ia telah membunuh seratus
orang, maka apakah ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat? Orang alim
itu menjawab: ya, siapa yang yang menghalangi orang untuk bertaubat? Pergilah
engkau ke daerah ini dan ini, karena di sana terdapat orang-orang yang
menyembah Allah SWT, maka beribadahlah kepada Allah SWT bersama mereka, dan
jangan engkau kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang buruk...
hadits. [Hadits itu muttafaq alaih dari Abi Sa'id al Khudri. Disebutkan oleh al
Mundziri dalam Targhib wa Tarhib. Lihatlah : al Muntaqa (1936) dan telah
disebutkan hadits ini dengan lengkap pada halaman sebelumnya.].
d. Mengiringi Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik
Ini
adalah cabang lain yang menyempurnakan dua cabang itu dan memperkuat taubat.
Yaitu: mengiringi keburukan dengan kebaikan, sehingga dapat menghapus
pengaruhnya dan membersihkan kotorannya. Inilah yang diperintahkan oleh
Rasulullah Saw kepada Abu Dzarr r.a. ketika beliau mewasiatkan kepadanya dengan
wasiat yang agung ini, dan bersabda:
"Bertakwalah
di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik
niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang
baik." [Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Abi Dzar. Tirmizi
berkata: hadits ini hasan sahih. Dan Al Hakim mensahihkannya atas syarat
Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi dan Al Baihaqi dalam Asy-Syu'ab.
Dan Ahmad serta Tirmizi dan Al Baihaqi juga Thabrani meriwayatkannya pula
Mu'adz. Adz Dzahabi berkata dalam kitab Muhadz-dzab: sanadnya adalah hasan. (Al
Faidl: 1/121)]
Yang
dimaksud adalah: seorang muslim, jika ia melakukan maksiat, hendaknya segera
mengiringinya dengan kebaikan. Seperti shalat, shadaqah, puasa, perbuatan yang
baik, istighfar, dzikr, tasbih dan lainnya, dari macam-macam perbuatan yang
baik. Seperti firman Allah SWT :
"Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." [QS. Huud: 114]
Contoh
konkritnya:
Jika kesalahannya itu adalah membicarakan
keburukan orang lain di hadapan seesorang tertentu, maka kebaikan itu adalah
memuji orang tadi dihadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya, atau ia
beristighfar kepada Allah SWT baginya.
Orang yang kejahatannya adalah membaca
buku-buku yang buruk, maka kebaikannya adalah membaca al Quran, kitab hadits
serta ilmu-ilmu Islam.
Orang yang keburukannya adalah menghardik
kedua orang tua, maka kebaikannya itu adalah dengan berlaku sebaik-sebaiknya
dengan keduanya dan memuliakannya serta berbuat baik kepadanya, terutama saat
mereka dalam usia lanjut.
Jika keburukannya adalah duduk dalam
tempat hiburan, main-main dan melakukan yang haram, maka kebaikannya itu adalah
duduk di tempat kebaikan, dzikr dan ilmu yang bermanfaat.
Jika keburukannya itu adalah bekerja di
koran yang memusuhi Islam dan para da'inya, maka kebaikannya itu adalah bekerja
di koran yang melawan musuh-musuh Islam itu, dengan menyebarkan berita yang
jujur, serta pendapat yang lurus.
Jika keburukannya adalah mengarang kitab
yang menyesatkan, serta mengajak kepada kemungkaran dalam perkataan dan
perbuatan, menyebarakan pemikiran yang menyesatkan serta mengajak kepada
syahwat, maka kebaikannya itu adalah mengarang kitab yang melawan kecenderungan
itu, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma'ruf, serta melarang
dari kemunkaran.
Barangsiapa keburukannya adalah
menzhalimi manusia, memusuhi orang-orang lemah, serta mengganggu kehormatan
mereka dan hak-hak material atau immaterial mereka, maka kebaikan mereka itu
adalah berusaha menegakkan keadilan, berlaku jujur kepada orang yang zhalim,
membela orang-orang yang lemah, dan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.
Jika keburukannya adalah bergabung dengan
kelompok penguasa yang despotis dan mendukung kebohongan mereka, serta membantu
mereka menjalankan kezaliman mereka terhadap rakyat, maka kebaikannya adalah
membantah orang-orang yang zalim itu sedapat mungkin, serta membuka kebobrokan
mereka di hadapan massa, membongkar kelakuan buruk mereka serta korupsi yang
mereka lakukan, sehingga manusia menjauh dari mereka.
Inilah
kebaikan yang dapat menghapuskan dosa orang yang melakukan keburukan semampu ia
lakukan. Yaitu dengan melawannya, menghilangkan pengaruhnya, serta membersihkan
diri dari pengaruhnya. Yaitu dengan meniti jalan yang berlawanan dari perbuatan
buruk itu, seperti dijelaskan oleh imam Al Ghazali. Karena orang yang sakit
diobati dengan lawannya penyakit itu.
Cara
penghapusan dosa dengan lawannya ini, diperkuat oleh syari'ah.
Yaitu al Quran mewajibkan dalam kasus pembunuhan karena kealpaan dengan
membebaskan budak. Karena perbudakan adalah semacam kematian seseorang, karena
ia tidak mempunyai kebebasan. Dengan membebaskan budak maka terdapat
penghidupan maknawi di dalamnya. Karena manusia tidak mungkin menghidupkan
orang secara material dan langsung, maka ia dapat menghidupkannya secara
maknawi, yaitu dengan membebaskannya.
4. Agar Taubat Ditujukan Kepada Allah SWT
Ada
rukun yang dituntut untuk dipenuhi dalam taubat, meskipun banyak orang tidak
menyebutkannya, yang aku dapati diungkapkan secara implisit, tidak secara
eksplisit. Yaitu agar meninggalkan dosa, menyesal darinya, dan bertekad
untuk tidak mengulanginya, semata karena Allah SWT saja, karena ingin
mendapatkan pahala-Nya, serta takut terhadap hukuman-Nya.
l
Barangsiapa yang meninggalkan minum
khamar semata karena dokter melarangnya, dan takut jika hal itu akan mengancam
kesehatannya, kemudian orang itu meninggalkannya semata karena itu, maka ia
tidak dapat dimasukkan dalam kelompok orang yang taubat. Jika ia meninggalkan
perbuatan itu dengan latar belakang seperti itu, maka hal itu tidak dianggap
sebagai taubat.
Orang yang meninggalkan zina, semata
karena ia terkena aids, atau takut terkena penyakit itu, atau penyakit-penyakit
kelamin lainnya, sehingga ia takut terhadap keselamatan dirinya, kemudian ia
meninggalkan zina, maka itu bukan taubat yang sebenarnya.
Orang yang meninggalkan menggunakan obat
bius, semata karena takut ditangkap polisi dan ancaman hukuman mati, maka ia
bukan orang yang bertaubat, dan meninggalkannya itu bukan taubat.
Orang yang uangnya habis di meja judi,
kemudian ia meninggalkan judi itu, karena tidak memiliki uang lagi serta
kekayaannya sudah habis, saat itu ia tidak dapat dikatakan telah bertaubat, dan
ia tidak termasuk dalam golongan orang yang taubat.
Al
Quran kita temukan berbicara tentang dua anak Adam. Ketika yang jahat membunuh
saudaranya yang baik, kemudian ia membawa-bawa mayat saudaranya itu dalam waktu
lama, dan ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, karena itu adalah kematian
yang pertama dalam sejarah manusia:
"Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya.
Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena
itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. [QS. al Maaidah:
31]
Penyesalan
saudara yang jahat ini bukan dari kemaksiatannya kepada Allah SWT, atau karena
ia telah membunuh saudaranya, namun semata karena ia membawa-bawa mayat itu
dalam waktu yang cukup lama, serta ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, oleh
karena itu penyesalannya itu tidak berguna baginya.
0 komentar:
Posting Komentar