Adab Imam & Makmum dalam Shalat Berjama'ah
Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk
menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti
keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat
Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat
berjama'ah)
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam:
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.[1]
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.[1]
Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan
tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa‘ Ar Rasyidin radhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam wafat. Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam.
Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga
golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau
menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk
satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits
yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala
orang-orang yang shalat di belakangnya.[2] Akan tetapi dalam hal ini manusia berada di dua
ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas
yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi
imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan masjid pada masa sekarang
ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan
penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh
Allâh Ta'âla.
Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari
golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal
membaca al-Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab pertanyaan
tentang sebuah hukum dalam agama. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali
dalam rangka mencari penghasilan.
Secara tidak langsung, –para imam seperti ini–
menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang
penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum
muslimin sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria
kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada
diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan
pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas,
merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam
bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya
ber-tabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan
kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah
kita sebutkan di atas”. [3]
Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.
Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
|
|
Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang
mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas
izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam,
yang disebut dengan imam rawatib.
|
|
Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada
yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan lebih ‘alim,
sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh
hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallâhu'anhu.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.[5] |
|
Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu'anhu disebutkan:
Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka
lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya... [6] Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullâh:
”Dhahir hadits yang
menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang
membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang
lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi
yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
Kebanyakan, kebencian
yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari
permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian,
karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allâh, seperti seseorang
membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang
telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar
(ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada
hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh.
(Jika) tidak ada dalil
yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa
yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab atau
karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala
meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]
Berkata Ahmad dan Ishaq:
”Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”[8]
|
Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki
bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah
penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat Al
Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jâma‘a mâlaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.
Ketiga: Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan
jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah
mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja,
atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua
hal-hal yang dianjurkan.[10]
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu
:
Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang
dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun
pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam
shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan
kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada
keinginan makmum.[12]
Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah
seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam
mengerjakannya.
Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
”Adalah Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau
meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi
panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat).
Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan
dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.[13]
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.[13]
Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang
imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat
dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu,
apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan
lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh
semua orang?!
Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
“Adalah salah seorang
kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah
seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka
bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata,
dari Anas radhiyallâhu'anhu, ”Bahwa ketika beliau datang ke Madinah,
dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak
engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam?’ Beliau
menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak
merapatkan shaf’.” [16]
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para jama’ah tidak
mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man
radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya,
jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang
lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan
jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
Membiarkan celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla
putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak
kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut
untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allâh akan
menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allâh
akan memutus (urusan)nya.”[17].
|
|
Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
|
|
Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam: |
Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
Hendaklah yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
Keenam: Membuat sutrah (pembatas)[21] ketika hendak shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu:
Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang
yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda,
”Jika orang yang lewat di
hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen),
niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada
melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
”Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]
Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
Imam Ahmad berkata:
”Imam (adalah) orang yang
paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya,
dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud.
Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan
tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka,
bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia
berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada
mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah
imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan
hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan
shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan
orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa
mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]
Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.[26]
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu ‘a‘lam.
0 komentar:
Posting Komentar